Jumat, 19 Mei 2017

CERPEN



BILIK PESANTREN
Sang surya baru menampakkan sinarnya, perlahan tapi pasti mulai membelah bumi. Perlahan-lahan udara dingin mulai menghangat karena sentuhannya. Cahayanya menerobos masuk lewat celah-celah genting rumah, membentuk garis lurus yang dibauri oleh debu-debu berterbangan. Burung-burung mulai memperdengarkan nyanyiannya hingga bunga-bunga bermekaran dan semerbak wewangian dapat dirasa.
Detik jam diiringi gerak matahari yang mulai melonjak. Kini sang surya tengah berdiri seujung tombak. Aku mulai teringat waktu sekolah diniah dikampungku dulu. Saat Pak Wahib, guru kelasku mengajak praktik mata pelajaran falaq diluar kelas yaitu dihalaman madrasah. Tak seorang santripun yang mampu menebak satu tombak itu berapa derajat, aku juga binggung saat itu hinga bertemu dengan mata pelajaran matematika yang mampu menjelaskan rumus dan cara perhitungannya. Dan dari situlah aku menarik kesimpulan bahwa antara ilmu umum dan ilmu agama semuanya satu. Hanya saja metode yang digunakan berbeda penekanannya.
Telepas dari itu, matahari sudah memulai untuk melaksanakan tugasnya hari ini. Cerahnya suasana pagi dipusat kota, jadi ternoda akibat hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang dijalan. Sejuk udara pagi berubah menjadi pengap disebabkan debu dan asap kendaraan yang berterbangan. Namun diseberang jalan tampak ramai kerumunan orang tanpa mempedulikan debu dan asap yang membuat mereka pengap. Menara-menara yang menjulang tinggi menambah suasana riuh pusat kota. Dan layaknya menara-menara yang lain, ia ikut memeriahkan suasana pula yaitu simbol kemegahan masjid yang berada diseberang jalan.
Pagi itu, seperti biasanya aku melaksanakan piket pagi dipesantren. Aku yang terjadwal untuk membersihkan aula pesantren memilih untuk menyapu terlebih dahulu kemudian membersihkan kaca-kaca jendela aula. Sebenarnya sama saja ketika kita berada disekolah umum kitapun melakasanakan piket harian juga yang sudah dibagi dikelas. Setelah selesai piket aku mulai melaksanakan aktifitasku. Ngaji sembari kuliah dan terkadang menjadi marbot dimasjid atau dengan istilah kerennya cleaning service, itulah yang aku geluti setiap harinya. Lumayan dapat mengurangi satu dari beberapa bebanku setiap bulannya, karena ketua tamir masjid memberi kami sekedar uang sabun. Begitulah istilahnya untuk gaji seorang cleaning service. Sebenarnya bukan itu yang terpenting melainkan cicilan ibadah yang bisa aku lakukan melalui profesiku sebagai cleaning service.
“Fin, sudakah kau selesai ? “tanya syamsul dengan logatnya yang khas. Entah ia peroleh dari mana logat itu padahal ia keturunan jawa asli, ya dia pribumi asli.
“Belum ! Kau sudahkah ? “jawabku mencoba mengimbangi logat khas syamsul.
“Alhamdulillah sudah !”  kata syamsul sembari duduk ditangga.
Itulah sedikit percakapan kami ketika sudah selesai melaksanakan tugas sebagai cleaning service. Fin, Alfin adalah panggilan akrabku. Nama panjangku Muhammad Alfin. Aku mahasiswa jurusan Sosiologi di Universitas Islam ternama dikota pelajar ini. Asalku dari daerah kecil di Jawa Tengah, khususnya Kebumen. Yang akhir-akhir ini sedikit terkenal karena objek wisatanya. Syamsul temanku yang juga bekerja sebagai cleaning service dimasjid ini pribumi asli, ya asli dari kota pelajar.
Menurutku, teman akrabku ini cerdas pola pemikirannya. Namun sayang, ia tidak berkecimpung didunia pendidikan karena benturan ekonomi. Ia nyantri dipesantren ini sejak kecil. Bahkan konon katanya, SD saja ia belum sempat memperoleh ijazah. Latar belakang kami memang berbeda namun hal itu tidak menjadikan jurang pemisah persahabatan kami. Semakin lama semakin kenal justru makin banyak kesamaan diantara kami, terutama tingkatan sosial keluaraga.
“Fin, setahuku biaya kuliah kan jutaan, katanya bapakmu sudah gak kerja? Kok kuliahmu lancar-lancar saja?” tanya syamsul tiba-tiba saat keluar masjid dengan nada heran dan karena memang aku belum pernah cerita selama ini.
“Kalau itu panjang ceritanya syul!”
“Sepanjang jalan kenangan kek sepanjang rel kereta kek yang ga berujung, aku sebagai sahabatmu kan juga pingin tahu! Siapa tahu ada hikmah yang dapat aku ambil atau aku jadikan istri” jawab syamsul sembari melucu untuk menghilangkan rasa lelah dan bosan yang menjelma pada diri kami.
Aku diam sejenak, kemudian duduk diteras samping masjid. Pertanyaan syamsul membuatku mengingat masa laluku. Perlahan kuseka butiran keringat yang menghiasi raut wajahku dengan lengan baju. “Dulu, sebenarnya setelah lulus SMP aku ga ingin melanjutkan sekolah, aku ingin keja untuk meringankan beban kedua orang tuaku. Tapi Allah berkehendak lain. Wali kelasku memaksak ku untuk tetap melanjutkan ke SMA. Aku bingung, dan kuceritakan semua kepada beliau. Ibuku tulang punggung keluarga yang hanya membuka warung sebagai penghasilannya. Kebutuhan adikku, kakaku bahkan aku, ibu dan bapakku hanya bertumpu pada satu orang. Tapi wali kelasku tetap ngotot agar aku melanjutkan ke SMA, beliau berjanji akan mencarikan beasiswa untukku selain aku tergolong siswa yang tidak mampu aku juga tergolong siswa yang pandai saat itu, karena aku menjadi peringkat satu paralel di SMP. Tapiiiii sampai saat ini pun aku masih pandai tidak hanya saat itu!” jelas Alfin panjang kali lebar sembari menyombongkan dirinya.
“Abaikan dulu bagian yang itu, kau terlalu sombong! Terus-terus lanjutkan bagian yang lain!” seru syamsul ingin mendengar cerita selanjutnya.
“Ah sudahlah terlalu panjang kisah hidupku untuk kuceritakan padamu syul, tidak ada habisnya. Besok kalau sudah kubuat novel, kamu jadi pembaca pertama biar ga penasaran ya?!” timpal alfin sembari meledek sysmasul.
Syamsul beranjak dari duduknya. Tiba-tiba suara pertikaian diujung masjid mengalihkan perhatian kami. Ibu-ibu paruh baya terus-terusan mencaci maki seorang gadis remaja. Gadis itu hanya diam sambil memunguti pecahan telur yang berceceran ditanah.
“Ada apa Bu?” tanyaku pelan, berharap emosi ibu itu mereda.
“Lha ini Mas! Masa jalan ga lihat-lihat! Telorku pecah semua!” kata ibu itu sambil menuding kearah gadis yang sibuk mengantongi pecahan telur itu. Padahal tidak ada gunanya juga mengantongi kulit-kulit telur tersebut.
Aku bergegas merunduk, membantu membersihkan pecahan tersebut. Kepala gadis itu semakin tertunduk, mungkin dia malu dicaci maki didepan kami.
“Ya sudah bu, tenang saja! Lagian kan gadis ini ga sengaja!” tambah syamsul yang masih berdiri ditempatnya sejak tadi.
“Tenang-tenang gimana, memangnya dia mau ganti apa?” kata-kata ibu itu semakin keras dan semakin membuat wajah gadis itu tertunduk. Tanpa berpikir panjang kuberanikan diri ambil solusi.
“Ya sudah Bu! Saya yang ganti! Berapa?
Kulihat ibu itu tampak malu, namun tetap saja tidak muncul rasa belas kasihan dan tetap meminta uang ganti lima belas ribu. Syamsul yang tahu kalau aku tidak mengantongi uang sepeserpun tercengang. Namun aku langsung bergegas lari ke pondok dan kembali membawa uang itu dan memberikan kepada ibu paruh baya tersebut.
Ibu itu pergi dengan membawa uangnya, sedang gadis itu masih tetap saja melakukan hal tak berguna.
“Zahra! Kamu mau kerumah Nadia ya?” tanya syamsul tiba-tiba. Ternyata syamsyul mengenalnya.
“Kamu mengenalnya syul?”
“Sepupu Nadia, “ jawab syamsul singkat.
“Ya sudah tidak usah dimbili lagi! Lagian sudah kotor tercampur tanah begitu!” kataku kepadanya.
Perlahan ia berdiri. Sedikit terlihat wajahnya yang cantik dan menawan dengan alis mata yang tebal, bulu mata melangkung lentik, mirip gadis-gadis arab kebanyakan yang ada disekitar kota pelajar ini.
“Saya minta maaf Mas! Jadi ngrepotin Mas!” kata gadis itu dengan tetap tertunduk dan sembari merogoh saku bajunya karena Hp-nya berbunyi. Ketika gadis itu berpaling untuk menjawab teleponya kami pun pergi untuk kembali kepondok. Tapi tidak dengan Syamsyul yang masih berdiri disana menitipkan salam kepada Zahra untuk Nadia pujaan hatinya putri pak Roni, tetangga pondok. Setelah menyampaikan kemudian Syamsyul berlari untuk mengejar Alfin yang menuju pondok untuk sarapan.
Ketika sarapan, tiba-tiba Syamsul menjelaskan tanpa diminta. “ Gadis itu Zahra sepupu Nadia. Kabarnya ia primadona loh! Banyak kang santri yang tergila-gila padanya. Bahkan waktu SMA, sempat membuat dua kang santri disini bertengakar. Sampai-sampai ada yang harus keluar salah satu. Tapi sekarang tidak lagi! Heru berhasil memikat hatinya!”
“Tapi minggu kemarin kudengar dari santri lain katanya Heru memutuskan hubungan mereka karena Zahra matre, entah ibunya yang matre atau benar-benar Zahra yang matre.” Belum selesai Syamsul menjelaskan tiba-tiba Hp pondok berbunyi. Syamsul beranjak meninggalkan piringnya yang masih tersisa sedikit nasi.
“Assalamualaikum,” sapa Syamsul dalam telepon dengan ramah.
Entah siapa yang menelepon tiba-tiba, Syamsyul senyum-senyum sendiri dan seketika menyebut nama Alfin. Dan memberikan telepon kepada Alfin. Seketika itu pula Alfin tersentak dan sedikit heran. Syamsul menghamiri piringnya dan melajutkan makan. Kemudian menjelaskan bahwa yang telepon tadi itu Zahra, gadis jelita yang lewat depan masjid tadi. Dia mau minta bantuan dan Syamsul menyarankan Alfin sebagai orang yang akan membantunya dan mahir dalam hal itu.
Waktu berlalu, dingin udara malam itu menusuk sampai ke sendi-sendi tulang. Guyuran hujan yang sejak dua jam lalu kini hanya meninggalkan hawa dingin itu. Siapapun enggan meninggalkan selimut tebal dan kasurnya. Mereka menganggap bantal dan selimut mereka posesif memanggil tanpa mau ditinggalkan. Semuanya sepi hanya terdengar suara santri yang sedang setoran dan sesekali terdengar suara lantang pa kyai menegur, membetulkan bacaan santrinya. Suaranya yang lantang membuat nyali santri yang berada diurutan berikutnya menyiut. Namun itu sudah menjadi rutinitas mereka dipondok.
Malam makin larut, adzan isa sudah lama terdengar bahkan iqomah. Sorogan sudah selesai. Alfin masih tadarus dimasjid seorang diri dengan perasaan berat dan ngantuk. Namun dirasanya ada sesuatu yang ia lupakan. Sejenak ia berhenti untuk mengingat-ingat. Dan ternyata ia lupa naskah yang ia janjikan kepada Zahra tadi siang kemudian tugas kuliahnya untuk esok pagi. Ia segera menutup Al-Qurannya dan bergegas menuju ke pondok. Di pertengahan jalan ia di tantang santri lain untuk beradu catur, namun ia menolak dengan alasan ada tugas kuliah yang menanti.
Alfin membuka-buka buku untuk mencari referensi. Pena yang ku bawa dari tadi hanya aku pegang, belum kugoreskan sama sekali. Ia masih memutar otak dan mengigit ujung pena tanpa sadar. Seketika ia menemukan inspirasi  untuk naskah drama yang ia janjikan. Pena menari dengan gesitnya diatas selembar kertas folio bergaris. Tanganku dengan cekatan seiringan jalan pikiran. Sekitar tigapuluh menit naskah itupun terselesaikan. Kubaca berulang-ulang untuk memastikan.
Setelahnya pikiranku langsung berlari ke tugas kuliah. Ya, tugas dosen yang sangat dan memang terkenal kiler. Bahkan sangat disiplin. Tugasnya memang tidak terlalu sulit namun beliau selalu teliti dalam mengoreksi dan dapat dipastikan akan menanyakan satu persatu kepada mahasiswanya. Jadi mau tidak mau harus selesai malam ini. Meskipun mata ini sudah susah untuk diajak kompromi.
Tak terasa jarum jam menunjukan pukul 23.00. Tugas baru terselesaikan. Aku tak tahan lagi, seketika aku tertidur dengan pulasnya.
Mentari sudah menyapa. Aku kembali sibuk dengan aktifitasku. Piket pondok, membersihkan masjid kemudian bergegas kuliah. Karena hari ini ada kuliah pagi untuk dosen yang sangat-sangat disiplin. Aku tidak boleh terlambat lagi kali ini. Alfin mengayuh sepeda tuanya yang sudah setia menemaninya dua tahun ini. Detik jam tidak mau beristirahat, waktu semakin mepet. Kayuhan sepeda dipercepat untuk mengejar detikan jam yang terus berlari.
Tiba dikampus, masuk kelas, mengumpulkan tugas itulah rutinitas wajib mahasiswa. Belum lagi kalau ada presentasi dan kegiatan kampus lainnya.
Selesai kuliah ia kembalik ke biliknya, ya kamar pondok. Ia merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Setengah jam kemudian Hp pondok berdering. Tepat, itu adalah telepon dari Zahra untuk mengambil naskah yang sudah dijanjikan.
“Assalamualaiku.”
“Waalaikum salam, bisa minta tolong panggilkan Mas Alfin?”
“Ya saya sendiri, ini mba Zahra ya?”
Aku tak lagi gugup seperti sebelumnya, gaya bicaraku seperti sudah kenal dan akrab saja.
“Iya Mas, gimana naskahnya?”
“Alhamdulillah selesai”
“Terus gimana Mas aku ngambilnya?”
“Gimana ya...?” Aku pun bingung, tidak mungkin kalau Zahra ke pondok atau ketemu disamping pondok. Apa kata santri yang lain, terlebih lagi masyarakat sekitar.
Seketika Zahra langsung berkata untuk menunggunya di kantin atau orang menyebutnya cafe dekat pondok dan langsung menutup telepon.
Alfin segera bergegas kesana. Zahra sudah menunggunya ketika ia tiba.
“Maaf, sudah lama menunggu,”
“Ah tidak aku baru sampai Mas. Mari silahkan duduk”
Alfin duduk dan sedikit bingung, Zahra sudah memesankan makanan dan minuman. Ia bingung bagaimana nanti ia membayarnya padahal sepeser uangpun tidak ia kantongi. Mungkin wajahnya terbaca oleh Zahra.
“Kali ini aku yang bayar Mas, sebagai ucapan terimakasih atas naskahnya dan yang waktu itu”
Aku bingung mau jawab apa. “Sebenarnya aku ikhlas membantu mba Zahra”
Seketika Zahra memotong pembicaraan. “Iya saya tau Mas, terimaksih untuk keikhlasannya. Ini hanya ucapan terimaksih ku saja ko”
Dan seketika itu pula ia meminta pamit karena ada urusan lain. Dan semenjak saat itu mereka lebih sering berkomunikasi. Entah apa yang mereka bicarakan. Tentu lewat hp pondok karena Alfin belum memiliki hp sampai saat ini.
Sebulan berlalu, hatiku gundah gulana. Seketika bahkan terlalu sering memikirkan Zahra. Alfin mencoba berbagi dengan Syamsul yang sudah berpengalaman. Saran Syamsul pun diikuti, menulis surat untuk Zahra dan dititipkan kepada Nadia. Kesempatan Syamsul untuk bertemu dengan Nadia. Sambil menyelam minum air, itulah istilahnya.
Tiga hari berlalu suratnya tidak mendapat balasan, Alfin semakin resah dan gelisah. Malam makin larut hawa dingin menusuk-nusuk tulang. Hawa dingin itu sedingin hati Alfin.
Pagi hari Alfin menjalankan rutinitas sepeti biasa dengan perasaan tak tentu. Untungnya hari ini kuliah libur. Selepas selesai mejalankan tugas-tugasnya ia merebahkan tubuhnya dikamar. Limabelas menit berlalu, tiba-tiba ada santri yang mengetok kamarnya dan mengatakan kalau ada telepon untuknya. Hatinya berkecamuk, dan rasa gugup mengampirinya lagi. Dia tau siapa yang menelpon namun pura-pura tidak mengetahui.
“Hallo.. Assalamualaiku?”
“Waalaikum salam”
“Maaf, ini siapa?” tanyaku tak berani menebak.
Jantungku berdebar lebih cepat, keringat tubuhku mengalir dingin. Hanya berfikir apa jawaban dari suratku itu. Namun tiba-tiba Zahra mengajaknya jalan ke Mall, Matahari namanya. Kita janjian dipintu masuk. Hatiku bersorak girang. Inikah jawaban atas suratku. Aku ceritakan kepada syamsul dan kemudian bergegas pergi. Sampai disana Zahra sudah menunggu.
“Maaf sudah menunggu dari tadi ya?”
“Engga papa ko”
Entah mengapa, suasana saat itu menjadi bisu dan dingin layaknya dikutub utara. Tak ada yang mau mengalah untuk memulai kata-kata.
“Kita jalan-jalan ke dalam yuk?” ajaknya menyikapi keadaan.
“Mari”
Kita akhirnya masuk, didalam Zahra asik membolak-balik pakaian yang berjajar ditoko busana.
“Mas Alfin...! Coba lihat ini!” Ucapnya sambil menunjukan gaun indah berwarna biru muda. Aku ikut-ikutan mengamati gaun itu. “Bagus nggak?” tanyanya sekali lagi padaku sambil meminang-minang gaun itu ditubuhnya.
“Masya Allah! Kamu semakin anggun dengan gaun itu,” kataku takjub. Memang indah sekali gaun itu.
“Ambil ini saja ya, Mas? Gimana menurut Mas?”
“Bagus. Kelihatannya cocok sekali untukmu.”
Zahra membawa gaun berbandrol Rp 200.000,- itu mendekati kasir. Namun, sebelum sampai dikasir ia memberikannya kepadaku. Lalu ia membuntuti, dan menuntunku mendekati kasir. Aku bingung, Zahra belum memberikan uangnya padaku. Mungkin ia lupa, aku berhenti kemudian bertanya.
“Zahra, tadi kemu belum berikan uang ke aku ya? Kataku mencoba mengingatkan.
Tapi anehnya, zahra langsung merebut kembali gaun itu dan menaruhnya ketempat semula dan berkata aku ada urusan lain sekarang. Aku benar-benar bingung, kata-kataku seolah-olah menyinggung perasaannya. Aku tidak dapat berfikir banyak, akau segera membuntutinya berlari menuju pintu keluar. Namun aku sudah tidak dapat menjangkaunya, ia sudah berlalu dengan taksi yang membawanya.
Aku kembali ke pondok dengan hati resah lagi, namun aku hanya berfikir kalau Zahra memang sedang ada urusan yang mendesak sekarang makanya ia pergi.
Mentari melaksanakan tugasnya lagi untuk kali ini. Menghangatkan hati Alfin yang dingin sejak berpisah dengan Zahra kemarin sore. Selesai dengan rutinitasnya, alfin duduk.
“ Kabar baik fin!”
“Berita apa syul?”
Ada surat balasan dari Zahra dan Alfin segera berlari ke lantai atas untuk membacanya.
Tak habis aku memikirkannya, entah angin apa yang membuat mu mengirimkan surat konyol itu padaku. Berani sekali kau mengoreskan pena pada kertas kosong lalu mengirimkannya padaku! Seharusnya kau berfikir pakai otakmu, kau anak berpendidikan kan?! Mau kau bahagiakan dengan apa aku ini kalau jadian sama kamu?
Asal kamu tahu ya, aku mentraktirmu itu bukan cuma-cuma, tapi anggap itu upah dariku karena kau telah membuatkanku naskah itu. Kamu gak usah ke-GR-an ya!
Zahra
Kata-kata disurat itu bagaikan petir yang menyambar, seketika hatiku hancur, remuk redam entah istilah apa yang cocok untuknya saat ini. Tubuhku lemas, lunglai.
Syamsul menghampiriku, dan membaca balasan surat ku itu.
“ Mungkin dia bukan jodohmu fin, sabarrr ya!”
Dan akupun hanya mengangguk. Hari-hari berlalu aku tetap menjalankan rutinitasku seperti biasa. Aku bukan tipe laki-laki yang harus galau dan murung karena patah hati. Ya walaupun sebenarnya hatiku masih sakit. Tapi aku harus bangkit, hidup itu bukan hanya cinta dan air mata namun masih banyak yang lainnya.
Mentari kembali keperaduannya, tiba saatnya sorogan untuk santri. Alfin dapat giliran terakhir, dia suka itu karena punya banyak waktu untuk mengulang hafalannya sebelum sorogan.
Selesai sorogan tiba-tiba pa kyai memberinya nasihat.
“Fin ngaji dulu yang bener, selesaikan hafalanmu.Baru pikirkan yang lain! Apa kamu tidak malu sama saya, hafalan surat yang ini saja ayatnya kadang nyelonong ke surat yang lain. Mau gaya-gayaan kamu pacaran. Selesaikan hafalanu baru datangi orang tuanya dan sahkan dia.”
Aku hanya tertunduk malu dan takzim mendengar pituturannya.
“Iya bah!”
“Memang orang hafalan Al-Quran itu besar cobaannya, tapi juga agung ganjarannya! Yang penting adalah sabar dan istiqomah,” tutur pa kyai
“Dahulu, Imam Syafi’i pernah ada masalah dengan hafalannya. Dan ia mengadu kepada gurunya tentang hal itu. Sang guru tidak bertanya sebab kenapa, tapi guru itu hanya memerintahkan Imam Syafi’i untuk menjauhi segala maksiat. Karena memang ilmu itu bagaikan cahaya dan hati manusia adalah kaca bening, sedangkan perbuatan-perbuatan maksiat adalah noda. Paham kamu fin?”
“Paham bah”
Seketika itu pa kyai masuk kedalam dan Alfin keluar untuk kembali ke kamar. Dijalan ia memikirkan nasihat pa kyai. Mencoba membenarkan niatnya lagi untuk konsentrasi terhadap ngaji dan kuliahnya. Yang lain akan menyusul seiring dengan itu.
Alfin percaya akan hal itu. Yang penting yakin, optimis. Niat dan istiqomah. Itulah yang terjadi dibilik pesantren terhadap seorang Alfin.

 J SEKIAN J